Selamat Datang di www.mi-luqmanhakimslawi.co.cc Terimakasih sudah Berkunjung Jangan Lupa Tinggalkan Komentar

Jumat, 28 Oktober 2011

Guru Harus Bisa Menulis


Guru Harus Bisa Menulis
Oleh Ali Irfan
Peraturan Menteri Pemberdayaan (Permenpan) No 16 tahun 2009 tentang jabatan Fungsional Guru dan Angka Kredit sudah mulai berlaku efektif. Dalam peraturan itu, guru diwajibkan membuat artikel yang dimuat di media massa seperti koran, majalah, dan jurnal. Ketentuan merupakan tindak  lanjut dari  upaya Mendiknas untuk menambah  satu kriteria guru menjadi profesional.
Sebagian kalangan guru menilai peraturan ini dinilai memberatkan. Alasannya sederhana, saat kuliah keguruan tidak ada pembekalan menulis karya ilmiah populer.
Kuantitas guru menulis memang masih memprihatinkan. Data tahun 2010 sebagaimana dilansir Kemendiknas, sebagian besar guru, sekitar 570 ribu orang, atau 22 persen dari jumlah guru secara keseluruhan, mentok di golongan IV A, karena kurang memiliki kemampuan menulis.
Padahal kalau ditelisik lebih mendasar, persoalan menulis sebenarnya lebih kepada permasalahan mental: Mau mencoba menulis atau tidak. Bukan sebuah persoalan apakah selama kuliah mendapat pembekalan tentang materi perkuliahan menulis karya ilmiah popular atau tidak. Sering mengikuti pelatihan menulis atau tidak. Menulis adalah habit. Sejauh mana kita  banyak membaca, sebanyak itu pula peluang problem untuk dituliskan. Sebuah budaya literasi ini memang sudah selayaknya perlu dibentuk dan dibudayakan di kalangan akademisi. Sifatnya kompleks dan general. Semua permasalahan bisa menjadi ide dan bisa ditulis. Jadi, ketika ada peraturan baru ini, sudah semestinya disambut hangat, karena setidaknya ini menunjukkan betapa profesi guru sedemikian berkelas, karena ada banyak kriteria untuk kenaikan pangkat.
Masalah profesionalisme guru, saya kira tidak hanya terbatas kepada permasalahan yang bersifat pedagogik, sosial dan profesional. Lebih dari itu, kecakapan guru dalam menulis juga patut diperhitungkan, karena memang layak menjadi ukuran intelektualitas seorang guru.
Salah seorang teman saya yang berprofesi sebagai pedagang koran di trotoar, bisa dibilang sukses menjadi penulis meski hanya tamatan SMA. Minatnya menulis menggebu. Aktivitas membacanya menggila, membuat pikirannya bermunculan ide-ide yang kemudian ia salurkan melalui tulisan. Jadilah tukang koran itu penulis yang buah pikirannya menghiasai media massa, sudah menghasilkan puluhan buku. Padahal secara intelektual, guru lebih berpeluang untuk bisa menuliskan banyak hal jika dibandingkan dengan tukang koran yang hanya tamatan SMA. Tapi kemiskinan motivasi, keinginan mau mencoba yang tak pernah tebersit, menjadikan mereka lebih memilih untuk jalan ditempat. Mereka kalah sebelum bertanding. Terpuruk sebelum mencoba.
Qayyidul ‘ilma bil kitaabah”, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Begitulah sebuah atsar yang disampaikan Ali bin Abi Thalib. Ilmu letaknya di memori, sedangkan memori kadang tersimpan begitu rapi di otak sehingga sulit untuk dikuak saat kita membutuhkannya. Seperti yang kita tahu, pada otak kita terdapat bagian primitif yang jika kita sedang panik, biasanya akan menjadi aktif. Maka, tak heran jika ada orang yang ilmunya setinggi gunung, namun terlihat begitu tolol ketika panik. Tak ayal lagi, ilmu butuh diikat, agar tidak ‘berlarian’ ke sana kemari. Dan cara mengikat ilmu yang paling tepat adalah dengan menuliskannya.
Sebenarnya ada banyak permasalahan dalam dunia pendidikan yang bisa ditulis guru. Menuliskan ide sesuai bidang yang digeluti menjadi nilai kemudahan tersendiri karena memang merasakannya langsung, bagaimana kelebihan dan kekurangannya. Sebagai contoh, guru bisa menulis bagaimana cara mengelola kelas yang efektif di hadapan anak-anak yang luar biasa aktif. Guru bisa menuliskan, tingkat kesejahteraan dibandingkan dengan kinerja guru saat mengajar, guru juga bisa menuliskan temuan-temuan alat peraga  yang bisa membantu pembelajaran di kelas, dan masih banyak lagi yang lainnya!
Secara nilai, aktivitas menulis juga melatih kejujuran dan pola berpikir sistematis. Serapi apapun seseorang melakukan plagiat, tetap akan ketahuan. Sangat tidak etis, jika akademisi melakukan praktek plagiasi, menganggap karya orang sebagai karya sendiri, menggunakan jasa ghost writer demi memuluskan rencana kenaikan pangkat, atau bahkan yang sangat memalukan membayar media tertentu agar tulisannya yang belum tentu berkualitas bagus, dimuat. Itulah mengapa jika kualitas tulisan juga mempengaruhi kualitas intelektual seseorang.
Dalam dunia literasi, sebuah karya tulis, haruslah bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Jadi ini bernilai positif terhadap karakter guru, terutama pada poin kejujuran. Sederhananya, melalui tulisan pemikiran kita akan segera tersebar secara massal. Tidak hanya konteks sekolah, apalagi sebatas kelas. Target sasaran akan lebih meluas, tanpa kita harus bersusah payah menemui mereka.
Menulis juga melatih kita berpikir (lebih) sistematis. Barangkali ada murid kita yang tidak bisa memahami penjelasan guru yang tengah mengajar di kelas. Bisa jadi, karena guru mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan meloncat-loncat. Apalagi jika ia belum merancang pembelajaran yang harus ia siapkan sebelumnya. Hal tersebut, akan bisa lebih diantisipasi jika kita terbiasa dengan menulis. Ketika menulis, kita memiliki kesempatan untuk mengedit tulisan-tulisan kita kembali. Kita bisa menata jalan pikiran yang berantakan menjadi lebih rapi, bisa membuang bagian-bagian yang tidak terlalu penting, sehingga kita bisa mendapatkan hubungan sebab akibat yang logis, sistematis, tanpa direcoki terlalu banyak bumbu yang memusingkan.
Guru sudah seharusnya pandai menulis. Harus memiliki visi dan misi ke depan yang jelas. Menurut Ari Ginanjar Agustian, orang yang tidak memiliki tujuan hidup serta visi dan missi yang jelas, ibarat benda-benda luar angkasa seperti asteroid atau planet atau apapun yang beredar secara rutin, namun tak tahu di mana pusat orbitnya berada. Ia memang melakukan hal-hal tertentu, yang bisa jadi merupakan kebiasaan yang tangkas dilakukan. Namun rugi sekali rasanya, jika kemahiran itu ternyata hanya sebuah aktivitas tanpa tujuan yang jauh dari menggairahkan.
Menulis bagi guru adalah keniscayaan. Mustahil rasanya bagi guru yang mengajarkan membaca dan menulis, guru sendiri jarang melakukan keduanya. Seharusnya aktivitasnya jauh lebih kompleks lagi. Membaca, tak sekedar membaca aksara tapi lebih kepada permenungan suatu permasalahan yang bisa membawa kemajuan pendidikan. Sehingga saya berkesimpulan, guru harus bisa menulis. Ada kemuliaan tak terperi di sana jika motivasi menulis untuk  menyebarkan pemikiran, dan tidak asal menulis untuk motivasi kenaikan pangkat.
Ali Irfan, Guru MI Luqman Al Hakim. Ketua Forum Lingkar Pena Tegal

0 komentar:

Posting Komentar